Menjadi Muslim Yang Bertaqwa


Mengumpulkan harta bukanlah bahagia, Bahagia diperoleh melalui takwa , Simpanan bekal yang terbaik adalah takwa , Allah menambah bahagia orang takwa

Pesan-pesan Takwa dalam Al Qur’an

Kata “takwa” termasuk salah satu diantara kata-kata agama yang banyak dikenal dan sering diucapkan. Dan Al Qur’an memberikan perhatian yang amat besar terhadap takwa. Kata takwa, dengan kata-kata jadiannya, dalam Al Qur’an terulang sebanyak 258 kali, dan 82 di antaranya terdapat kalimat perintah (imperative) untuk bertakwa. Karena begitu luasnya pembahasan tentang takwa, maka dalam tulisan yang terbatas ini saya hanya akan mengutip beberapa ayat saja, sebagai contoh, untuk memahami arti dan pesan-pesan takwa; walaupun ayat-ayat yang dikutip itu tidak atau belum mewakili makna keseluruhan dari pesan-pesan takwa yang terkandung dalam Al Qur’an.
Begitu esensinya takwa untuk kehidupan manusia dapat kita lihat dalam ajaran Al Qur’an dari uraian berikut ini. Al Qur’an menjelaskan kepada kita bahwa tujuan manusia diciptakan Allah adalah untuk mengabdi kepada-Nya, “Dan tiada Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mengabdi (menyembah) kepada Ku.” (Al Dzariyat, 51:56).
Ibadat berarti pengabdian atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa. Karena itu, dalam pengertaiannya yang lebih luas, ibadat mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini termasuk kegiatan “duniawi” sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Allah, yakni sebagai tindakan bermoral. Artinya makna dan tujuan keberadaan manusia ialah ‘perkenan’ atau ridha Allah SWT. Dan secara khusus ibadat juga menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang bersifat keagamaan yang disebut dengan ubudiyah, ritual atau ibadat murni, seperti shalat, puasa, dan lainnya.
Akan tetapi, sekalipun ibadat bertujuan untuk mentransendensikan hidup, merohanikan atau mendekatkan diri kepada Allah, namun ia bukanlah sebagai tujuan akhir dari keberadaan dan kehidupan manusia. Ibadat adalah jalan bagi manusia untuk mencapai maqam takwa, “Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa”. (Al Baqarah, 2:21).
Pada ayat yang baru dipetik ini, paling tidak ada dua pesan yang perlu kita perhatikan. Pertama, ibadat adalah sebagai jalan (syari’at) yang mengantarkan kita ke maqam takwa, dan kedua, takwa adalah pesan abadi Tuhan kepada semua nabi buat seluruh umat manusia.
Satu di antara ibadat ubudiyah (ritual) yang selalu mendapat perhatian dan pembahasan secara panjang lebar yang berkaitan dengan takwa adalah puasa, “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah, 2:183).

Sebelum melihat hubungan ibadat puasa Ramadhan dengan takwa, sebaiknya kita perhatikan dulu hubungan ayat puasa ini dengan ayat-ayat sebelumnya.
Pada ayat sebelumnya, al Baqarah, 2:177, memperingatkan kepada kita, kaum muslim, agar jangan jatuh dalam kesalahan yang dialami oleh umat terdahulu, yang telah mengorbankan ruh agama demi mementingkan upacara lahir, yang bersifat serimonial. Ayat ini memberitahukan kepada kita bahwa inti agama ialah cinta kepada Allah dan kepada sesama. Pada akhir ayat disebutkan “Mereka itulah yang dikatakan orang-orang yang bertakwa”.
Berikutnya al Baqarah, 2:178-179, dimulai dengan perintah wajib kepada orang beriman untuk melakukan hukum qishash, “Wahai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu hukum qishash dalam hal pembunuhan, .. ayat diakhiri dengan, “Dalam hukum qishash itu (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang yang arif, supaya kamu menjadi orang bertakwa.
Perintah Tuhan mewajibkan hukum qishash adalah sangat berat bagi diri manusia, karena sipembunuh akan menyerahkan dirinya untuk dibunuh (qishash) pula. Akan tetapi bagi orang beriman yang cerdas akan mengetahui kedalaman ajaran yang diturunkan Allah. Ia tidak terbatas melihat pada formalisma agama saja, tetapi akan menemukan suatu hikmah yang sangat dalam dibalik itu, terutama, seperti yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab, “Bahwa melalui ketetapan hukum qishash terdapat jaminan kelangsungan hidup bagi manusia. Karena siapa yang mengetahui bahwa jika ia membunuh secara tidak sah, ia terancam pula akan dibunuh, maka pastilah ia tidak akan melangkah untuk membunuh”.
Bisa jadi hikmah ini tidak dipahami oleh semua orang, karena itu kewajiban bagi orang yang memiliki kemampuan akal yang dalam dan jernihlah untuk menjelaskan hikmah hukum qishash ini. Itu sebabnya ayat qishash ini langsung diiringi dengan seruan “hai Ulul Albab”, dan dengan kepatuhan manusia terhadap hukum inilah yang akan mengantarkannya kemaqam takwa.

Selanjutnya ayat al Baqarah, 2:180 menjelaskan kewajiban untuk meninggalkan wasiat, “……. dan ini adalah hak atas orang-orang yang bertakwa.” Setelah ini langsung datang ayat perintah wajib berpuasa, al Baqarah, 2:183, dan ayat inipun diakhiri dengan “Supaya kamu bertakwa”.
Dari apa yang telah diuraikan di atas kita dapat melihat urutan ayat-ayat yang sangat indah sekali. Wajib qishash didahulukan dari wajib wasiat, karena qishash berkaitan dengan diri, sedangkan wasiat dengan harta. Ini berarti pesan ayat berpindah dari persoalan yang lebih berat kepada yang kurang berat atau lebih ringan. Walaupun kedua-duanya terasa berat bagi manusia, namun ia akan terasa lebih ringan bila pesan-pesan ayat itu dapat dipahami dengan makna yang dalam, bukan hanya semata terpusat pada formalisma dan upacara lahirnya saja, seperti yang dipesankan oleh ayat al Baqarah, 2:177.
Jadi, rentetan pesan-pesan dari ayat-ayat yang mulai dari al Baqarah, 2:177 sampai dengan perintah wajib puasa dapat kita lihat seperti ini. Ayat 177 bicara tentang kebaikan yang substansial dan diakhiri dengan “dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. Dan ayat 178-179, bicara tentang qishash dan diakhiri dengan “supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”. Kemudian ayat 180 bicara tentang wasiat dan diakhiri dengan “(adalah) hak bagi orang-orang yang bertakwa”. Dan kemudian ayat 183 bicara tentang puasa dan diakhiri pula dengan “supaya kamu menjadi orang-orang bertakwa.”
Tetapi yang sangat menarik dan indah untuk diperhatikan adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan perintah puasa Ramadhan. Ayat-ayatnya berbeda dari ayat-ayat ibadah atau ubudiyah lainnya. Yang terakhir ini dibicarakan dalam banyak ayat dan surat, sedangkan tentang puasa Ramadhan, hanya terdapat dalam satu surat saja, yaitu surat al Baqarah dan hanya dalam lima ayat (183-187).

Ayat 183 sebagaimana diketahui, diakhiri dengan “supaya kamu menjadi orang bertakwa”, ayat 187 juga ditutup dengan “supaya mereka bertakwa”. Tapi antara ayat 183 dan ayat 187, ada satu ayat, yaitu ayat 186, menurut para pengeritik Al Qur’an, tidak ada kaitannya dengan puasa Ramadhan, arti ayat: “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat ……” Ayat ini, menurut mereka, adalah kekeliruan Nabi Muhammad dalam menyusun Al Qur’an, sebab Al Qur’an adalah buatannya. Tentu saja, pendapat ini muncul akibat kedangkalan dalam memahami kandungan Al Qur’an. Bagi orang yang sungguh-sungguh mengkaji Al Qur’an akan mendapatkan makna dan hikmah yang sangat dalam dari ayat itu.
Tadi disebutkan bahwa ayat puasa Ramadhan hanya terdapat dalam lima ayat (183-187). Ayat 183 diakhiri dengan takwa. Sedangkan ayat-ayat sebelum ayat-ayat puasa ini juga membicarakan tentang takwa. Ayat 177 menyebutkan kebaikan sejati itu adalah takwa, ayat 178-179 menjelaskan pelaksanaan qishash adalah takwa. Dan ayat 180 juga menjelaskan bahwa kewajiban wasiat adalah takwa. Maka ayat 186, “Apabila hamba-hamba Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) Aku dekat,” yang dianggap tidak ada kaitannya dengan puasa Ramadhan, sesungguhnya ayat inilah yang menjadi inti dan hakekat takwa, dan menjadi tujuan dari ibadat yang dilakukan, seperti ibadat puasa yang dibicarakan pada ayat ini. Puasa merupakan ibadat yang bersifat personal dan rahasia, yang pelaksanaannya hanya diketahui oleh orang yang berpuasa dan Allah.
Takwa, yang berarti merasakan kedekatan, kehadiran Allah pada diri kita, merupakan sebab doa-doa kita dikabulkan Allah. Berdoa kepada Allah dilakukan secara langsung, seperti dijelaskan dalam ayat 186 di atas, dan tidak perlu ada perantara. Dan ini pulalah juga agaknya yang membedakan ayat ini dari ayat-ayat lainnya. Pada ayat-ayat lainnya, kalau ada hamba-hamba bertanya sesuatu kepada Allah maka selalu disertai dengan jawaban kata-kata qul, seperti “mereka bertanya kepada engkau (wahai Muhammad) tentang ruh, katakanlah bahwa itu adalah termasuk urusan Tuhan (al Isra’, 17:85).
Merasakan kehadiran Tuhan di dalam diri kita adalah inti dan hakekat takwa. Itu sebabnya, menurut Imam Muhammad Abduh, kata-kata takwa dalam al Qur’an umumnya disambungkan kepada kata Allah, “bertakwalah kepada Allah”, atau “kepada siksaan neraka”, “takutlah kepada api neraka”. Karena dengan memelihara diri dari sentuhan api neraka orang akan selalu dekat kepada Allah.
Karena takwa adalah inti dan sibstansi dari ibadat, maka ia merupakan pesan abadi Allah kepada semua nabi yang diutus-Nya. Inilah pesan-pesan takwa dalam al Qur’an kepada umat-umat yang terdahulu.

Kepada Nabi Nuh as, Allah berfirman, artinya: “Kaum Nuh telah mendustakan para rasul. Ingatlah tatkala saudara mereka, Nuh berkata kepada mereka, tidakkah kamu bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul yang dapat dipercaya untukmu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatilah kepada Aku” (al Syu’ara, 26:105-108).
Kepada kaum ‘Ad, umat Nabi Hud as. Allah berfirman, “Kaum ‘Ad telah mendustakan para rasul. Ingatlah tatkala saudara mereka, Hud, berkata kepada merka: tidakkah kamu bertakwa? Aku adalah seorang Rasul yang dipercaya untukmu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatilah aku.” (al Syu’ara, 26:123-126).
Demikian juga kepada kaum Tsamud, umat Nabi Shaleh (al Syu’ara, 26:141-144), kaum Nabi Luth as. (al Syu’ara, 26:160-163), kaum Nabi Syu’aib as, yang disebut dengan Ashabul Aikah, yaitu penduduk Madyan (al syu’ara, 26:176-176). Jadi semua rasul dan nabi menyeru umatnya kepada takwa. Kedatangan Al Qur’an Al Karim juga menyeru semua umat manusia kepada takwa: “Itulah al Kitab, tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang bertakwa” (al Baqarah, 2:2)

Sifat-sifat Orang Bertakwa

Membicarakan sifat-sifat orang bertakwa, sebagai yang disebutkan dalam Al Qur’an, berarti sekaligus kita menyinggung manifestasinya dalam kehidupan manusia, sebab kata-kata takwa dengan kata jadiannya, dalam Al Qur’an selalu mengandung makna etik dan sosial. Maka dengan selalu adanya kesadaran akan keakraban dan kehadiran Allah dalam kehidupan kita akan menjadikan-Nya pengawas dalam tingkah laku kita. Atau seperti disebutkan oleh Fazlur Rahman, “Orang-orang yang memiliki takwa, yaitu orang-orang yang berjaga-jaga terhadap bahaya moral, tidak akan terlena dan jatuh ke dalam kejahatan, orang-orang bertakwa senantiasa menjaga integritas moral mereka dari serangan syaitan.”
Abdullah Yusuf Ali, dalam The Holy Qur’an, menafsirkan surat al Baqarah, 2:177, akan sifat-sifat orang bertakwa dan pengaruhnya dalam kehidupan seperti berikut, “Orang bertakwa itu harus mematuhi segala peraturan yang banyak memberi manfaat. Ia juga harus memusatkan cintanya kepada Allah dan kepada sesama manusia. Ada empat ajaran pokok dari sifat orang bertakwa; yaitu, (1) keimanan kita harus sejati, murni dan tulus, (2) kita harus siap menerjemahkan iman ke dalam bentuk perbuatan kemanusiaan kepada sesama; (3) kita harus menjadi warga yang baik dengan mendukung segala kegiatan sosial; dan (4) jiwa pribadi kita sendiri harus tegas dan tak tergoyahkan dalam menghadapi segala keadaan. Ini adalah sifat-sifat utama orang-orang bertakwa yang disebut dalam al Qur’an.
Disamping sifat-sifat utama itu dapat lagi ditambahkan beberapa sifat takwa lainnya, seperti sifat adil terhadap sesama manusia (al Maidah, 5:8). Berlaku adil dan berbuat baik dalam sesama yang menyenangkan kita atau dalam suasana netral sungguh patut dipuji, namun kita akan benar-benar diuji bila kita berlaku adil terhadap orang yang membenci kita atau terhadap orang yang tidak kita sukai. Setidak-tidaknya kita dituntut mempunyai kesadaran moral yang tinggi. Sifat seperti ini tidak akan lahir bila seseorang tidak memiliki sifat takwa pada dirinya.
Termasuk sifat orang bertakwa juga adalah bersikap jujur walaupun terhadap musuh, (al Taubah, 9:7). Selama musuh tetap setia menepati perjanjian mereka, maka kaum muslim juga harus setia pada perjanjian. Orang-orang ini disebut oleh al Qur’an sebagai orang-orang bertakwa dan mendapatkan limpahan kasih sayang-Nya.
Selain itu, al Qur’an juga menyebutkan bahwa orang bertakwa itu akan menikmati hasilnya, baik di dunia ini berupa kemuliaan, pertolongan, petunjuk dan tuntunan dari Allah; maupun di akhirat nanti, seperti rasa aman sentosa dan hilangnya rasa takut dan cemas, serta mendapatkan rahmat yang luas.
Orang-orang bertakwa itu tidak merasa takut dan khawatir menghadapi hidup ini. Mereka memperoleh kegembiraan dan kedamaian dalam hidup di dunia dan akhirat (Yunus, 10:63-64). Kalau mereka ditimpa krisis dan bencana Allah memberikan keselamatan pada dirinya dan jalan keluar yang terbaik baginya (thalak, 65:2), dan Allah memberi kemudahan dalam segala hal (al Thalak, 65:4). Dan Allah pun memberi pertolongan kepada orang-orang bertakwa di dunia ini (al A’raf, 7:128). Hati orang bertakwa memperoleh pancaran dan pencerahan Ilahi. Dia memperoleh ketajaman pandangan batin, dengan mudah ia dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, dan antara hal-hal yang meragukan (syubhat). Dan Allah selalu menyertai orang bertakwa dalam kehidupan ini, “Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan furqon (kemampuan membedakan antara hak dan yang batil) kepadamu (al Anfal, 8:29).

Satu contoh yang terbaik dari pertolongan Allah terhadap orang bertakwa adalah seperti yang terdapat pada kisah Nabi Yusuf as. pada bagian-bagian akhir surat Yusuf memberikan pelajaran yang amat baik bagi kita. Sedikit banyaknya kita telah mendengar kisah Nabi Yusuf as. pada saat kisah ini hampir berakhir, yaitu pada saat Nabi Yusuf as. telah menjadi penguasa Mesir, saudara-saudaranya datang dari Kan’an ke Mesir untuk memperoleh bahan makanan, karena di Kan’an ketika itu terkena musim kemarau. Mereka tidak mengenal Yusuf, akan tetapi Yusuf mengenal mereka. Lalu Nabi Yusuf menahan Bunyamin yang merupakan saudaranya seibu sebapak agar tetap di sisinya.
Kemudian, buat kedua kalinya sudara-saudara Nabi Yusuf datang meminta gandum kepada Yusuf. Al Qur’an menggambarkan bahwa mereka merendahkan diri di hadapan Yusuf. Mereka mengatakan, “Maka ketika mereka masuk ke tempat (Yusuf) mereka berkata, ‘wahai al ‘Aziz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tidak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah” (Yusuf, 12:88).
Yusuf, sampai saat itu belum memperkenalkan dirinya. Maka pada saat dia hendak memperkenalkan dirinya, dia berkata, “Apakah kamu mengetahui (kejelekan) apa yang telah kamu lakuikan terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kamu tidak mengetahui (akibat) perbuatan itu?”. (Yusuf, 12:89).

Lalu, mereka mengatakan, “Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?” Yusuf menjawab, akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami. Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (Yusuf, 12:90).
Ini adalah hasil dari takwa dan kesucian diri. Yusuf as. berkata, “Saya telah menjadi pemuda, dan berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, namun saya tetap menjaga ketakwaan saya. Seorang wanita yang paling terpandang dan paling cantik di antara wanita-wanita Mesir mengajak saya melakukan kejahatan, namun ketakwaan menjaga saya dari perbuatan yang diharamkan dan saya mengatakan, “Wahai Tuhanku penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku”. (Yusuf, 12:33). Sekarang saya telah menjadi penguasa Mesir. Takwa dan kesabaran tidak akan hilang di dunia ini, dia melambungkan manusia dari kehinaan ke puncak kemuliaan. Allah berfirman, “Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (Yusuf, 12:90).
Sebuah pesan yang disampaikan dalam kisah Nabi Yusuf itu dapat kita simpulkan, yaitu takwa begitu banyak menyelamatkan seseorang manusia dari musibah, krisis dan kesengsaraan, dan lalu mengantarkannya ke puncak kemuliaan. Allah berfirman, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka niscaya Allah akan memberikan jalan keluar baginya”. (al Thalak, 65:2)

Karena itu, Allah meletakkan kriteria kemuliaan bagi manusia pada takwa, “sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu” (al Hujurat, 49:139). Jadi tidak ada satu bangsa, ras, suku atau individu yang bisa mengklaim bahwa dialah yang paling mulia. Betapa pun hasil usaha yang diperoleh oleh orang bertakwa di dunia ini tidak akan mengantarkannya ke sifat sombong, tapi semua keberhasilannya akan selalu mendekatkan dirinya kepada Allah.
Ada pun di akhirat nanti, sebagai tujuan akhir dari kehidupan orang bertakwa, mereka dibawa ke surga, pintu-pintu surga lalu dibukakan. Para penjaganya berkata “salam bagimu, berbahagialah kamu, bahwa kamu telah menjalankan kehidupan yang suci. Maka masuklah, menetap di dalamnya.” (al Zumar, 39:73). Lalu di surga orang-orang bertakwa berada ditempat yang aman, di taman-taman dan mata air yang mengalir (al Dukhan, 44:51-51).
Akhirnya, disebut secara simbolis kedudukan dan kemuliaan orang-orang bertakwa, yang tidak akan dapat dicapai oleh selainnya, dalam suatu tingkat keluhuran pribadi yang makin tinggi: (1) mereka akan berada di tengah-tengah taman dan sungai-sungai yang mengalir, ini merupakan lambang kenikmatan jasmani; (2) mereka akan hadir di suatu majlis kebenaran, yang berarti lambang kenikmatan ruhani, karena berkumpul di suatu tempat, duduk dengan teman-teman dan menimati kebenaran serta lenyapnya segala kepalsuan adalah lambang dari kepuasan sosial; (3) pada tingkatan ini merasakan hadir di hadirat Allah. Ini merupakan kenikmatin ruhani yang paling tinggi. Allah hadir di mana-mana dan pada setiap saat; (4) disini dirasakan betul bahwa Allah adalah Raja untuk semua (al Qamar, 54:54-55).
Itulah di antara sifat-sifat orang bertakwa dan hasil serta implikasinya bagi kehidupan individual dan sosial, di dunia dan akhirat. Takwa merupakan puncak kebahagiaan bagi manusia. Itu sebabnya takwa merupakan seruan semua nabi kepada kaumnya. Dan al Qur’an memberikan perhatian yang sangat besar untuk menyeru manusia kepada takwa. Dan takwa merupakan kedalaman ruh Islam: “Dan berbekallah kamu, sesungguhnya bekal yang paling baik ialah takwa. Maka bertakwalah kepada Ku, hai Ulul Albab.” (al Baqarah, 2:197).
Kalaulah umat manusia mengetahui makna takwa dan mengaplikasikannya dalam kehidupan, sesungguh api kejahatan akan redup dan semua umat manusia akan merasakan kehidupan damai.

Taqwa memiliki beberapa pengertian tersendiri yaitu:
Merupakan konsekuensi logis dari keimanan yang kokoh.
Taqwa ini juga mengandung arti bahwa “Hendaklah Allah tidak melihat kamu berada dalam larangan-larangannya dan tidak kehilangan kamu didalam perintah-perintahnya.
Mencegah diri dari azab Allah dengan berbuat amal shaleh dan takut kepada-Nya dikala sepi atau terang-terangan.

Balasan bagi orang yang bertaqwa:
1. Diberikan furqon dan diampuni dosa-dosanya.
2. Diberikan rahmat dan cahaya.
3. Dimudahkan segala utusannya.
4. Ditutupi kesalahan-kesalahannya dan dilipatgandakan pahalanya.
5. Mendapatkan berkah.
6. Diberikan jalan keluar dan rizki.

Kiat-kiat agar kita bisa menjadi taqwa:
1. Mengingat perjanjian (Mu’ahadah). Dengan cara shalat serta menyendiri
(semedi) tetapi hanya kepada Allah tidak kepada orang lain atau mahluk halus.
2. Merasakan kesertaan Allah (Muraqabatullah).
Macam-macamnya:
1. Dalam melaksanakan keta’atan harus ikhlas.
2. Dalam kemaksiatan harus bertaubat, menyesal, dan meninggalkannya.
3. Dalam hal yang mubah harus menjaga adab-adab terhadap Allah dan
bersyukur.
4. Dalam mendapat musibah haruslah ridho terhadap ketentuan Allah dan
memohon pertolongannya yaitu dengan melaksanakan shalat.
3. Muhasabah (Interopeksi diri).
4. Mu’aqobah (pemberian sanksi).
5. Mujahadah (optimalisasi).

Hal-hal yang perlu diperhatikan:
1. Hendaklah amal-amal yang sunnah tidak membuatnya lupa akan kewajiban yang lainnya.
2. Tidak memaksakan diri dengan amalan sunnah yang diluar kemampuannya.


  1. No trackbacks yet.

Leave a comment